12 Februari 2009

Awal Pembangunan Bondar Godang


Mengapa masyarakat Haunatas, Tanjungrompa, Bonandolok dan Siranap sangat peduli melindungi hutan Sibual-buali dan menjaga bondar (tali air) yang bersumber dari hulu Aek Sirabun?
Nilai-nilai kearifan lokal yang bernuansa konservasi ini tak bisa dipisahkan dari sejarah dibukanya perkampungan Simaretong (sekarang Desa Haunatas) sekitar tahun 1907, jauh sebelum negara Indonesia berdiri.
Jansen Pasaribu menuturkan masyarakat dari keempat desa itu sebenarnya bukanlah penduduk asli Marancar, Tapanuli Selatan. Leluhur mereka berasal dari Toba Samosir yang migrasi ke Desa Sioma-oma, Sipirok.
Ceritanya, pada awal abad ke-20, di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, empat lelaki bersaudara dari rumpun keluarga marga Pasaribu, yakni Parbagas Godang, Tarub Ijuk, Tarup Seng dan si bungsu Bonandolok, meninggalkan Sioma-oma menuju keluatan Marancar yang pada masa itu dikuasai oleh Raja Adat Siregar Bahumi. Kedatangan mereka ke Marancar dengan maksud ingin membuka perkampungan dan persawahan.
Sebagai pendatang, keempat bersaudara itu menyadari tak akan mudah bagi mereka untuk mendapat restu membuka perkampungan di keluatan Marancar yang dikuasai komunitas marga Siregar. Untuk mendapat hak pengelolaan kawasan di Marancar, keluarga Pasaribu melakukan pendekatan kultural. Caranya, si bungsu Bonan Dolok yang belum berkeluarga meminang putri Raja Adat Siregar Bahumi. Pinangan direstui sehingga terjalinlah ikatan tali persaudaraan melalui horja (pesta) perkawinan. Secara adat, ketiga saudara kandung Bonandolok pun statusnya menjadi anak boru bagi marga Siregar Bahumi. Dalam adat Batak Toba, Angkola dan Mandailing, anak boru berarti saudara laki-laki dari suami adik/kakak perempuan.
Dengan terbangunnya tali persaudaraan itu, pada 1907 keluarga Pasaribu akhirnya diberi kedaulatan membuka perkampungan sendiri (luat). Kawasan yang diberikan oleh Raja Adat Siregar Bahumi berada di lembah sempit dengan topografi perbukitan di antara kaki Gunung Sibual-buali dan Gunung Lubuk Raya. Kawasan itu dinamai wilayah Simaretong. Di pemukiman baru itu, keluarga Pasaribu berencana menerapkan sistem pertanian sawah yang mengandalkan jaringan bondar (tali air) sebagaimana di kampung asalnya. Dengan sistem pertanian sawah itu, dalam setahun petani bisa panen dua kali. Pada masa itu, penduduk asli Marancar masih menerapkan sistem pertanian lahan kering (tadah hujan) atau perladangan berpindah.
Sialnya, kawasan khusus yang diberikan kepada keluarga Pasaribu itu tidak dilintasi sungai. Sementara sungai terdekat dari tempat tinggal mereka, yakni Aek Sirabun, posisinya berada di bawah kampung Simaretong, sehingga tidak bisa langsung dimanfaatkan untuk mengairi pertanian sawah. Tak putus asa, keempat Pasaribu bersaudara itu lalu menyusuri hutan untuk menemukan hulu Aek Sirabun di punggung Gunung Sibual-buali. Setelah lebih lima kilometer memasuki belantara hutan Sibual-buali, akhirnya mereka menemukan hulu Aek Sirabun. Lalu dibuatlah bendungan dari kayu. Agar air bendungan itu bisa dilairkan ke sawah, keempat bersaudara itu bekerja keras membuat tali air dari hulu sampai ke pemukiman mereka sepanjang enam kilometer. Tali air itu kemudian didistribusikan ke sawah mereka masing-masing.
Keberhasilan keempat bersaudara itu kemudian menarik para kahanggi (keluarga lelaki dari garis keturunan ayah) dari klan Pasaribu lainnya di Sioma-oma, Sipirok, untuk hijrah ke Simaretong sehingga secara resmi pada tahun 1907 terbetuklah perkampungan klan Pasaribu di sana. Oleh warga, kawasan Simaretong itu kemudian diberi nama Desa Haunatas. yang diambil dari nama asal tempat marga Pasaribu di Toba Samosir. Belakangan, keluarga anak boru Pasaribu lainnya di Sioma-oma juga ikut berpindah ke sana seperti dari keluarga Napitupulu, Pardede, Simanjuntak, Harianja, Pane, Ritonga dan Pangaribuan.
Dengan bertambahnya kepala keluarga dan dibukanya persawahan baru, para leluhur Pasaribu pada masa itu mulai menerapkan kembali tradisi adat Batak Toba dalam sistem penjagaan dan pembagian bondar. Secara adat disekapati bahwa tali air itu milik bersama yang harus dijaga dan dibagi secara adil ke persawahan penduduk. Untuk itu, dibetuklah sistem jaga bondar (pengawasan tali air) dengan dikepalai oleh seorang mantri bondar.
“Mantri bondar dipercayakan kepada pemuka adat tertinggi yang fungsinya mengatur secara adil sistem distribusi tali air dan dia pula yang menyelesaikan masalah jika terjadi perselisihan atau kecurangan dalam pemanfatan bondar. Sedangkan jaga bondar yang ditetapkan sebanyak delapan orang dipilih oleh warga masyarakat dengan tugas mengawasi tali air dan melindungi keutuhan hutan di sekitar bondar dan hulu sungai,” terang Jansen Pasaribu.
Selain sebagai pemimpin adat di Simaretong, Jansen juga sampai saat ini masih dipercaya sebagai mantri bondar dan merupakan mantri bondar ketiga sejak leluhurnya memberlakukan sistem ini di jaman pemerintahan kolonial Hindia. Belanda.
Kini, setelah kawasan Simaretong berkembang menjadi empat desa (Haunatas, Bonandolok, Tanjungrompa dan Siranap), tali air warisan leluhur yang bersumber dari hutan Sibalu-buali itu masih terpelihara dan memberikan jasa lingkungan sebagai sumber air bersih bagi 253 kepala keluarga di keempat desa dan mengairi 300 hektar persawahan penduduk. Umumnya, mereka masih menanam padi varietas lokal seperti Silontik, Siluluk, Sigudang, Sijambur, Silatihan dan Sidolok. Namun jika terlambat penanaman, sering pula masyarakat menanam padi varietas unggul berjenis C4 atau Ciherang.
Dalam pengelolaan sistem bondar, yang berhak mendapatkan pembagian air adalah warga keturunan dari keempat desa yang memiliki areal persawahan dan telah diadati pernikahannya. Namun jika ia meninggalkan kampung tersebut dan bermukim di daerah lain, maka ia akan kehilangan haknya dalam penggunaan tali air. Hak itu bisa dipulihkan kembali jika ia kembali lagi bermukim di wilayah keempat desa ini.
Bagaimana jika terjadi kerusakan tali air? “Tergantung tingkat kerusakannya. Kalau kerusakan ringan, cukup jaga bondar (pengurus tali air) yang memperbaikinya. Misalnya, salah satu jaringan bondar jebol. Tapi kalau keruskaan atau gangguan tergolong berat, seperti longsor di hulu dan menutup bondar, ya selaku mantri bondar saya meminta masyarakat untuk membantu secara bergotong royong,” jelas Jansen.
Bagaimana pula sumber dana untuk perawatan dan pengawasan bondar? Nah, setiap warga yang menggunakan air diwajibkan membayar sebesar 2 kaleng padi (24 kg) setiap tahun. Khusus anggota baru yang berasal dari luar keturunan keempat desa, diwajibkan membayar biaya awal keanggotaan berupa 12 kg karet dan 3 tabung padi. Beras kontribusi warga ini selanjutnya dijual oleh mantri bondar dan uangnya digunakan untuk merawat saluran irigasi dan sebagian disisihkan untuk upah mantri bondar dan jaga bondar. Pembagian upah untuk jaga bondar diatur oleh mantri bondar berdasarkan hari kerja yang dikontribusikan oleh setiap jaga bondar dalam setahun.
Nah, kesepakatan terpenting dari pengelolaan sistem bondar ini adalah larangan merusak hutan yang ada, terutama di hulu sungai dan di sepanjang daerah aliran tali air, sehingga siapapun yang berani menebang hutan di sekitar tali air dan hulu Aek Sirabun di belantara Sibual-buali harus berhadapan dengan masyarakat desa tersebut.

(Sumber : http://www.medanbisnisonline.com/2009/02/04/laskar-konservasi-dari-lembah-sibual-buali-bagian-3berawal-dari-sistem-bondar/)

Kekompakan marancar


KEEMPAT desa itu berada di lembah sempit yang diapit oleh dua buah gunung, yakni Gunung Sibuali-buali dan Gunung Lubuk Raya. Berada di atas ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut, Desa Haunatas, Tanjungrompa, Bonandolok dan Siranap berbatasan langsung dengan hutan Suaka Alam Sibual-buali yang memiliki luas sekitar 5.0000 hektar.
Selintas lalu, tak ada yang istimewa dari perkampungan marga Pasaribu di Marancar ini. Seperti umumnya desa-desa lain di sekitarnya, masyarakat di keempat desa itu hidup dari pertanian tanaman padi dan kebun campur seperti karet, kopi salak, dan aren. Tapi, yang menarik dan tidak ditemukan di desa-desa lainnya adalah adanya tradisi adat dalam perlindungan dan pelarangan penebangan hutan serta pemanfataan kawasan hutan secara arif—sekarang bahasa modernnya disebut sebagai aksi konservasi—yang telah tumbuh dan terpelihara menjadi semacam hukum adat sejak leluhur mereka membuka kampung ini satu abad silam.
Yang lebih menakjubkan, pada tahun 1994 seluruh pemuka masyarakat, pemuka adat (hatobangan), alim ulama dan aparat dari keempat desa berinisiatif menyiapkan semacam “deklarasi kesepakatan” perlindungan hutan Sibuali-buali guna keberlanjutan pemanfataan sumber daya alamnya bagi generasi ke depan. Kesepakatan tertulis di atas kertas segel itu dipicu oleh meningkatnya ancaman aksi illegal logging sepanjang masa orde baru, tak terkecuali di kawasan Hutan Batang Toru Blok Sibual-buali dan Blok Lubuk Raya.
“Dulu, hutan di sini (Sibual-buali, red) semakin sering diincar pencuri kayu. Padahal itu berbahaya buat tali air untuk persawahan kami yang bersumber dari Aek Sirabun. Jadi kami berinisiatif membuat kesepakatan larangan penebangan hutan di daerah ini,” ungkap Horas Pasaribu, mantan Kepala Desa Bonandolok yang mengaku ikut menandatangani surat pernyataan kesepakatan tersebut.
Tak ada intervensi pemerintah daerah, tak ada pula pendampingan dari NGO/LSM sebagaimana terhadap model desa-desa konservasi, tapi siapa sangka kalau “peraturan desa” yang diinisiasi oleh orang-orang kampung yang awam dan tidak pernah mengecap pendidikan tinggi itu sangat bernuansa konservasi.
Kesepakatan tertulis yang menjadi hukum formal itu antara lain berisi larangan penebangan kayu di sekitar desa dan di hulu bondar (tali air) Aek Sirabun sejauh dua kilometer dari hulu sungai maupun di hulu sungai-sungai yang menyatu dengan Aek Sirabun. Penduduk juga dilarang menggunakan tali air untuk kepentingan pribadi atau golongan (mangayup hayu). Bagi siapa saja yang kedapatan menebang kayu di sekitar tali air akan dituntut secara adat atau diadukan ke dinas kehutanan dan lembaga pengadilan.
Kesepakatan yang ditandatangani empat kepala desa, pemuka masyarakat, hatobangan ni huta (raja adat kampung) dan alim ulama itu disebarluaskan ke masyarakat, termasuk juga ke desa-desa lain di sekitarnya, seperti Desa Aek Sibaon dan Desa Sugijulu, dengan tembusan ke Camat Batang Toru (sekarang Kecamatan Marancar) serta unsur Muspida Kabupaten Tapanuli Selatan. “Deklarasi” bersejarah bagi masyarakat Simaretong itu diteken pada 8 April 1994.
Mengawal Komitmen
Meski kesepakatan sudah diteken dan disebarluaskan ke penduduk, tidak berarti gangguan pencurian kayu serta-merta terhenti. Pernah suatu kali di tahun 1995, seorang warga Simaretong diam-diam mencuri kayu di hutan Suaka Alam Sibual-buali. Kabarnya ia tergoda iming-iming bayaran tinggi dari seorang cukong kayu. Masyarakat yang mencurigai aksinya lalu melakukan pengintaian dan berhasil menangkapnya saat sedang beraksi. Tanpa ampun, pemuda yang mencuri kayu itu menjadi korban amukan massa. Ia dihajar hingga babak belur. Kepalanya bersimbah darah akibat bacokan.“Pada saat peristiwa itu terjadi, kebetulan saya sedang ada urusan ke Medan,” ujar Jansen Pasaribu menceritakan peristiwa berdarah empat belas tahun silam itu.
Tapi Insiden ini sempat membuat sang pemimpin adat itu harus berurusan dengan polisi. Begitu Jansen pulang ke kampung, polisi sudah mengincarnya. Sang Panusunan Bulung ini dibawa ke kantor Polsek Batang Toru untuk diinterogasi. Meski tak ada bukti keterlibatannya, polisi tetap mengancam akan menjebloskannya ke penjara kalau tidak mau membiayai perobatan si korban penganiayaan massa. Korban, HP, yang disangka terlibat illegal logging, sebenarnya juga masih kerabat keluarga semarga (kahanggi) dari klan Pasaribu.
“Sebagai pemimpin adat yang melarang penebangan hutan saya dianggap polisi sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam insiden itu. Ini kan lucu. Kok saya yang diperiksa. Bukan cukong kayunya. Maka saya bilang, boleh saja saya yang menanggung pengobatan korban. Tapi tangkap dulu cukong kayu itu untuk membayar kerugian dari hutan kami yang ditebangi,” cerita lelaki berwajah keriput yang masih kuat membajak sawah ini.
Sampai kini, masyarakat dari keempat desa itu berpantang menebang kayu di hutan Batang Toru Blok Sibual-buali. Generasi penerusnya berkomitmen melindungi hutan tidak hanya dengan ucapan, tapi juga lewat aksi-aksi perlawanan fisik dan aksi moral yang mereka lakukan.
Hasidan Pasaribu, hatobangan yang disegani warga Tajungrompa misalnya, pada tahun 1996 pernah menggagalkan rencana investor swasta yang ingin membuka objek wisata danau buatan di kawasan Sababegu, dekat puncak Gunung Sibual-buali yang berketinggian sekitar 1.800 meter dari permukaan laut. Sababegu adalah sebuah rawa gambut seluas lebih kurang empat hektar di tengah hutan Sibual-buali yang tidak pernah disentuh oleh penduduk setempat, bukan saja karena dipercaya memiliki nilai magis, melainkan juga karena penduduk menyadari Sababegu adalah sumber air bagi sungai Sirabun. Sedangkan hulu Aek Sirabun merupakan sumber air yang dibutuhkan untuk mengairi pertanian dan kebutuhan air bersih bagi masyarakat keempat desa.
“Waktu Pemda Tapsel mengundang empat kepala desa untuk membicarakan rencana pembangunan objek wsiata danau buatan di Sababegu, kami berkeras menetang rencana investor swasta itu, karena dampaknya pasti sangat berbahaya untuk kelestarian lingkungan hutan dan sumber air kami. Akhirnya Bupati Tapsel waktu itu menerima aspirasi kami dan membatalkan rencana proyek wisata danau buatan itu,” tutur Hasidan yang pada masa itu baru menjabat sebagai Kepala Desa Tanjungrompa.
Tak cuma pemuka masyarakat, anak-anak mudanya pun pernah menggagalkan aksi perambahan hutan yang terjadi pada tahun 1997. Kala itu, ada pencurian kayu terorganisir yang dikordinir oleh seorang warga berinisial PH, dari Desa Janji Manaon, desa yang bertetangga dengan Desa Tanjungrompa. Sejumlah pemuda dari keempat desa spontan tanggap dan memburu para penebang liar itu ke dalam hutan. “Mereka (pencuri kayu) berhasil kami tangkap. Otak pelakunya itu kami paksa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi akhirnya bisa didamaikan secara adat dengan janji tidak mengulangi aksinya,” tutur Hotman Napitupulu, salah warga Desa Tanjungrompa.

(Sumber : http://www.medanbisnisonline.com/2009/02/03/laskar-konservasi-dari-lembah-sibual-buali-bagian-2konservasi-dari-kearifan-lokal/)

13 September 2008

Horja,.....


Horja,...
Horja adalah suatu acara pesta adat batak yang dilaksanakan oleh salah satu marga dengan mora kahanggi dan anakboru.
horja pernikahan juga ada dilaksanakan apabila simempelai pria menghendakinya.