12 Februari 2009

Kekompakan marancar


KEEMPAT desa itu berada di lembah sempit yang diapit oleh dua buah gunung, yakni Gunung Sibuali-buali dan Gunung Lubuk Raya. Berada di atas ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut, Desa Haunatas, Tanjungrompa, Bonandolok dan Siranap berbatasan langsung dengan hutan Suaka Alam Sibual-buali yang memiliki luas sekitar 5.0000 hektar.
Selintas lalu, tak ada yang istimewa dari perkampungan marga Pasaribu di Marancar ini. Seperti umumnya desa-desa lain di sekitarnya, masyarakat di keempat desa itu hidup dari pertanian tanaman padi dan kebun campur seperti karet, kopi salak, dan aren. Tapi, yang menarik dan tidak ditemukan di desa-desa lainnya adalah adanya tradisi adat dalam perlindungan dan pelarangan penebangan hutan serta pemanfataan kawasan hutan secara arif—sekarang bahasa modernnya disebut sebagai aksi konservasi—yang telah tumbuh dan terpelihara menjadi semacam hukum adat sejak leluhur mereka membuka kampung ini satu abad silam.
Yang lebih menakjubkan, pada tahun 1994 seluruh pemuka masyarakat, pemuka adat (hatobangan), alim ulama dan aparat dari keempat desa berinisiatif menyiapkan semacam “deklarasi kesepakatan” perlindungan hutan Sibuali-buali guna keberlanjutan pemanfataan sumber daya alamnya bagi generasi ke depan. Kesepakatan tertulis di atas kertas segel itu dipicu oleh meningkatnya ancaman aksi illegal logging sepanjang masa orde baru, tak terkecuali di kawasan Hutan Batang Toru Blok Sibual-buali dan Blok Lubuk Raya.
“Dulu, hutan di sini (Sibual-buali, red) semakin sering diincar pencuri kayu. Padahal itu berbahaya buat tali air untuk persawahan kami yang bersumber dari Aek Sirabun. Jadi kami berinisiatif membuat kesepakatan larangan penebangan hutan di daerah ini,” ungkap Horas Pasaribu, mantan Kepala Desa Bonandolok yang mengaku ikut menandatangani surat pernyataan kesepakatan tersebut.
Tak ada intervensi pemerintah daerah, tak ada pula pendampingan dari NGO/LSM sebagaimana terhadap model desa-desa konservasi, tapi siapa sangka kalau “peraturan desa” yang diinisiasi oleh orang-orang kampung yang awam dan tidak pernah mengecap pendidikan tinggi itu sangat bernuansa konservasi.
Kesepakatan tertulis yang menjadi hukum formal itu antara lain berisi larangan penebangan kayu di sekitar desa dan di hulu bondar (tali air) Aek Sirabun sejauh dua kilometer dari hulu sungai maupun di hulu sungai-sungai yang menyatu dengan Aek Sirabun. Penduduk juga dilarang menggunakan tali air untuk kepentingan pribadi atau golongan (mangayup hayu). Bagi siapa saja yang kedapatan menebang kayu di sekitar tali air akan dituntut secara adat atau diadukan ke dinas kehutanan dan lembaga pengadilan.
Kesepakatan yang ditandatangani empat kepala desa, pemuka masyarakat, hatobangan ni huta (raja adat kampung) dan alim ulama itu disebarluaskan ke masyarakat, termasuk juga ke desa-desa lain di sekitarnya, seperti Desa Aek Sibaon dan Desa Sugijulu, dengan tembusan ke Camat Batang Toru (sekarang Kecamatan Marancar) serta unsur Muspida Kabupaten Tapanuli Selatan. “Deklarasi” bersejarah bagi masyarakat Simaretong itu diteken pada 8 April 1994.
Mengawal Komitmen
Meski kesepakatan sudah diteken dan disebarluaskan ke penduduk, tidak berarti gangguan pencurian kayu serta-merta terhenti. Pernah suatu kali di tahun 1995, seorang warga Simaretong diam-diam mencuri kayu di hutan Suaka Alam Sibual-buali. Kabarnya ia tergoda iming-iming bayaran tinggi dari seorang cukong kayu. Masyarakat yang mencurigai aksinya lalu melakukan pengintaian dan berhasil menangkapnya saat sedang beraksi. Tanpa ampun, pemuda yang mencuri kayu itu menjadi korban amukan massa. Ia dihajar hingga babak belur. Kepalanya bersimbah darah akibat bacokan.“Pada saat peristiwa itu terjadi, kebetulan saya sedang ada urusan ke Medan,” ujar Jansen Pasaribu menceritakan peristiwa berdarah empat belas tahun silam itu.
Tapi Insiden ini sempat membuat sang pemimpin adat itu harus berurusan dengan polisi. Begitu Jansen pulang ke kampung, polisi sudah mengincarnya. Sang Panusunan Bulung ini dibawa ke kantor Polsek Batang Toru untuk diinterogasi. Meski tak ada bukti keterlibatannya, polisi tetap mengancam akan menjebloskannya ke penjara kalau tidak mau membiayai perobatan si korban penganiayaan massa. Korban, HP, yang disangka terlibat illegal logging, sebenarnya juga masih kerabat keluarga semarga (kahanggi) dari klan Pasaribu.
“Sebagai pemimpin adat yang melarang penebangan hutan saya dianggap polisi sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam insiden itu. Ini kan lucu. Kok saya yang diperiksa. Bukan cukong kayunya. Maka saya bilang, boleh saja saya yang menanggung pengobatan korban. Tapi tangkap dulu cukong kayu itu untuk membayar kerugian dari hutan kami yang ditebangi,” cerita lelaki berwajah keriput yang masih kuat membajak sawah ini.
Sampai kini, masyarakat dari keempat desa itu berpantang menebang kayu di hutan Batang Toru Blok Sibual-buali. Generasi penerusnya berkomitmen melindungi hutan tidak hanya dengan ucapan, tapi juga lewat aksi-aksi perlawanan fisik dan aksi moral yang mereka lakukan.
Hasidan Pasaribu, hatobangan yang disegani warga Tajungrompa misalnya, pada tahun 1996 pernah menggagalkan rencana investor swasta yang ingin membuka objek wisata danau buatan di kawasan Sababegu, dekat puncak Gunung Sibual-buali yang berketinggian sekitar 1.800 meter dari permukaan laut. Sababegu adalah sebuah rawa gambut seluas lebih kurang empat hektar di tengah hutan Sibual-buali yang tidak pernah disentuh oleh penduduk setempat, bukan saja karena dipercaya memiliki nilai magis, melainkan juga karena penduduk menyadari Sababegu adalah sumber air bagi sungai Sirabun. Sedangkan hulu Aek Sirabun merupakan sumber air yang dibutuhkan untuk mengairi pertanian dan kebutuhan air bersih bagi masyarakat keempat desa.
“Waktu Pemda Tapsel mengundang empat kepala desa untuk membicarakan rencana pembangunan objek wsiata danau buatan di Sababegu, kami berkeras menetang rencana investor swasta itu, karena dampaknya pasti sangat berbahaya untuk kelestarian lingkungan hutan dan sumber air kami. Akhirnya Bupati Tapsel waktu itu menerima aspirasi kami dan membatalkan rencana proyek wisata danau buatan itu,” tutur Hasidan yang pada masa itu baru menjabat sebagai Kepala Desa Tanjungrompa.
Tak cuma pemuka masyarakat, anak-anak mudanya pun pernah menggagalkan aksi perambahan hutan yang terjadi pada tahun 1997. Kala itu, ada pencurian kayu terorganisir yang dikordinir oleh seorang warga berinisial PH, dari Desa Janji Manaon, desa yang bertetangga dengan Desa Tanjungrompa. Sejumlah pemuda dari keempat desa spontan tanggap dan memburu para penebang liar itu ke dalam hutan. “Mereka (pencuri kayu) berhasil kami tangkap. Otak pelakunya itu kami paksa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi akhirnya bisa didamaikan secara adat dengan janji tidak mengulangi aksinya,” tutur Hotman Napitupulu, salah warga Desa Tanjungrompa.

(Sumber : http://www.medanbisnisonline.com/2009/02/03/laskar-konservasi-dari-lembah-sibual-buali-bagian-2konservasi-dari-kearifan-lokal/)

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Ise do hamu tehe?
Au nanggo parmaratcar au ... tai natua-tuai tubu di maratcar.

Mantap do ba blog muna on ...

http://watukosek11.blogspot.com

Anonim mengatakan...

Au marga napitupulu sian tanjung rompa

Anonim mengatakan...

di dia ma natua tua ni bapak i di marancar???

ampli rakitan mengatakan...

Di simaretung kawan ...